Selasa, 25 Oktober 2016

TRADISI UNIK DI DESA LANDIH



TRADISI UNIK YANG TERDAPAT DI DESA LANDIH


Gambar 1.1 Wajah Desa Landih

A.    Profil Desa Landih
Landih adalah desa yang berada di kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, Bali, Indonesia. Desa ini dibentuk pada tahun 2008 dari pemekaran Desa Pengotan. Desa landih adalah desa yang terdiri dari beberapa dusun, yaitu sering disebut Bulan Palapa yang berarti Buayang, Landih, Palaktiying, Langkan, dan Penaga. Buayang adalah salah satu dusun yang terletak tepat di sebelah selatan dari desa landih. Landih merupaakan pusat dari desa landih sendiri, berada di sebelah timur
desa pengotan, sekitar 15 kilometer dari kota bangli, di landih sendiri terdiri dari banyak tempekan seperti tempek barong, tempek teki, tempek pekarangan, tempek bintak, tempek dajan umah, tempek ini biasanya untuk memudahkan saat ada upacara dalam membagi tugas di pura. Selanjutnya ada Dusun Palaktiying adalah dusun yang terletak di sebelah barat daya dari Desa Landih, dusun palaktiing terkenal dengan masyarakat yang kesehariannya membuat keranjang pindang, dusun palaktiying ini juga terbagi atas beberapa tempekan atau pondokan seperti pondokan buah, baugasri, dajan umah, delod umah, dan pondokan pangsut. Dusun selanjutnya adalah Dusun Langkan yang merupakan tempat saya tinggal letaknya di sebelah barat laut dari desa landih, mayoritas masyarakat di dusun langkan adalah sebagai petani atau pekebun yang menanam pohon jeruk dan sayur – sayuran. Dusun Langkan juga terbagi atas beberapa tempekan atau pondokan, dan uniknya setiap warga yang memiliki rumah di pusat dusun pasti memiliki tegal atau tanah di pondokan dan mereka selalu pergi kepondoknya itu tiap hari. Pondokan itu terdiri dari pondokan kaja, pondokan dalem, pondokan boni, dan pondokan bunut. Dusun yang terakhir yaitu dusun penaga yang terletak tepat disebelah timur desa landih.
B.     Tradisi Unik Di Desa Landih
Bila dilihat dari profil diatas desa landih terdiri atas beberapa dusun Tiap dusun pastinya memiliki tradisi uniknya masing – masing, seperti yang akan saya jelaskan dibawah ini.
1.      Tradisi Upacara Dalam Pertanian
Gambar 1.2 Pura Gunung Meraun
Tradisi ini terdapat di Dusun Langkan, Desa Landih, Bangli. Menurut seorang penglingsir atau penua di desa tersebut, menanam tanaman seperti padi, jagung, undis, kara dan kacang - kacangan sudah dilakukan sejak jaman dahulu namun kini sudah mulai ditinggalkan karena bertani semacam itu kurang banyak penghasilannya. Masyarakat lebih tertarik dengan hasil yang menggiurkan seperti menanam jeruk dan sayur – sayuran. Rentetan upacara dari penanaman tanaman - tanaman tersebut adalah sebagai berikut :
a.       Upacara Mungkah
Upacara ini dilakukan di salah satu pura di langkan yaitu Pura Gunung Meraun. Pura ini menurut para penglingsir dulunya adalah pura yang amat sangat keramat salah satunya adalah tidak boleh membawa perhiasan apapun kedalam pura atau kejeroan. Menurut penglingsir upacara ini dilakukan untuk memuja Dewi Sri sebagai dewa kemakmuran supaya apa yang ditanam nanti dapat tumbuh dengan baik dan memberikan kemakmuran bagi masyarakat setempat. Pura ini merupakan tempat seluruh rangkaian upacara bagi para petani yang memiliki lahan untuk menananam padi pada jaman dulu. Upacara ini memerlukan sarana banten seadanya  dan biji - bijian yang dibawa dari masing –masing rumah untuk dipersembahkan kehadapan Dewi Sri yang kemudian akan ditunas atau diminta kembali sebagai bija ratus. Upacara yang dilakukan juga diiringi pelengkap upacara seperti gambelan dan tari – tarian. Tarian yang biasanya digunakan untuk mengiringi adalah tari rejang tari pendet dan tari baris. Setelah serangkaian upacara dilakukan maka tiap kepala keluarga dari masyarakat mendapat bija ratus, kemudian masyarakat akan melakukan yadnya di pelinggih tegaklan atau sering disebut papun, yang merupakan tempat berstananya dewa yang memiliki atauu menjaga tanaman. Prosesi mungkah ini merupan awal dari petani untuk bertani, dimana pada saat hari itu merupakan hari baik untuk metajuk atau menggemburkan tanah yang akan digunakan untuk menanam tanaman tersebut, walaupun tidak semua tanah bisa digemburkan satu hari biasanya masyarakat hanya mengambil beberapa bagian sebagai symbol dari rentetan upacara. Tanah yang sudah digemburkan itu kemudian ditanami benih – benih tanaman yang telah didapat dari upacara tadi, atau yang disebut Bija Ratus,kemudia masyarakat akan mebrata selama tiga hari  untuk tidak melubangi tanah atau ngohkoh tanah, setelah tiga hari barulah boleh kembali melubangi tanah, biasanya disini masyarakat melanjutkan penanaman dari bibit tanaman yang diinginkan oleh petani.

b.      Upacara Mebubuh
Upacara ini adalah lanjutan dari retetan upacara bagi para petani. Upacara ini dilakukan saat padi atau tanaman sudah mulai tumbuh dan sudah memililiki dua daun. Sama sepeti upacara mungkah upacara ini juga dilakukaan di pura gunung meraun. Sarana dari upacara ini adalah banten seadanya dan tentunya bubuh, bubuh dibuat dari beras yang direbus kemudian dibentuk daalam Sebelas wadah yang dijadikan satu, masing – masing wadah berisi bubuh dan  unti atau parutan kelapa yang dicampur dengan gula merah. Upacara ini peertama dilakukan di pura kemudian setelah mendapat tirta atau air suci dari pura yang kemudian akan digunakan di masing – masing papun masyarakat. Di papun ini juga menggunakan bubuh tadi, upacara ini dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi dan manifestasinya sebagai Dewi Sri. Selain di papun upacara mebubuh ini juga dilakukan di sanggah dari masing – masing warga untuk mengungkapkan rasa syukur kehadapan Ida Bhatara Guru, yang telah melimpahkan berkaahnya. Pada fase ini petani biasanya membersihkan atau mencabuti rumput liar yang tumbuh disekitar tanaman agar tidak mengganggu proses tumbuhnya nanti.

c.       Upacara Nyungsung
Upacara ini dilakukan pada saat padi sudah mulai berbuah biasnya disebut beling, padi pada umur ini sudah mulai tampak dari pohonnya namun belum keluar sepenuhnya. Upacara ini menggunakan sarana bantal dan blayag sama seperti upacara yang diawal, upacara ini juga dilaksanakan di pura gunung meraun terlebih dahulu, dengan menghaturkan sarana tersebut kehadapan Dewi Sri. Upacara Nyungsung memiliki makna untuk membuka isi dari belingan padi tersebut agar nanti menjadi lebat dan sehat. Prosesi upacara ini juga diiringi dengan pelengkap seperti gambelan, tari  rejang, tari pendet dan tari baris. Selain banten seadanya bantal dan blayag, pada prosesi ini masyarakat juga akan menghaturkan satu buah guling babi, pastinya semua sarana upacara itu dihaturkan untuk mengungkapkan rasa syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewi Sri.

d.      Upacara Mapag
Upacara mapag dilakukan sebelum masyarakat memetik padi yang sering disebut manyi. Sarana dalam upacara ini adalah banten seadanya dan jaje uli, yang menurut para penglingsir atau orang tua di Dusun Langkan merupakan prosesi akhir dari penanaman tanaman yang didominasi oleh tanaman padi. Upacara ini  memiliki makna untuk menjeput hasil yang melimpah setelah sekian lama menanam dan merawaat tanaman tersebut atau dalam istilah balinya disebut mapag = mapagin = menjemput. Bukan sekedar menjemput dalam prosesi ini juga masyarakat mengucapkan syukur kehadapan-Nya atas hasil panen yang didapatkan. Hasil ini kemudian akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan juga untuk ditanam kembali nanti. Prosesi ini akan terus berulang – ulang biasanya sasih yang menjadi patokan dari petani.
Itulah rangkaian upacara penanaman masyarakat langkan dari penua dulu, hingga sekarang upacara tersebut masih tetap aktif dilaaksanakan, namun  untuk penanaman padinya hanya ditanam di sebelah timur pura gunung meraun. Masyarakat umum sudah mulai meninggalkan penanaman padi tersebut karena pengaruh pertanian jaman sekarang. Walaupun seperti itu upacaranya masih tetap aktif dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur kehadapan Dewi Sri.
2.      Tradisi Nyepi Adat
Tradisi ini terdapat di Dusun Pakraman Palaktiying,  desa Landih, Kecamatan Bangli, terdapat keunikan yang dikenal dengan sebutan Nyepi Adat. Berbeda daerah lainnya di Bali, Desa Pakraman Palaktiying justru melaksanakan Hari Raya Penyepian dua kali dalam satu tahun. Selain melaksanaan perayaan Nyepi secara nasional, desa Pakraman ini juga melaksanakan Nyepi Adat. Bahkan Nyepi Adat ini, terbilang lebih ketat dari pelaksanaan Nyepi pada umumnya. Tak tanggung-tanggung, bagi yang melanggar dikenakan sanksi adat dengan membayar denda.  
Menurut menurut warga dusun Pakraman Palaktiying mengatakan Nyepi adat dilaksanakan berkaitan dengan Upacara Ngusaba Tegen-Tegenan di Pura Dalem Pingit. Kali ini, pelaksanaan Nyepi Adat bahkan berlangsung selama dua hari, dimulai dari hari. Untuk menjaga kekhusukan pelaksanaan Nyepi Adat ditempat ini, sejumlah pecalang atau pengaman desa adat disiagakan. Semenatara dipintu masuk masing-masing rumah warga dipasang sawen atau tanda  dilarang masuk.Seluruh aktivitas pemerintahan maupun swasta dan warung yang ada diwilayah setempat juga ditutup. Meski demikian, sesuai namanya Nyepi adat ini hanya berlaku khusus untuk wilayah dan warga di Dusun Palaktiying saja.
Dijelaskan, saat Nyepi Adat warga juga melaksanakan Catur Brata Penyepian yaitu Amati Geni (tidak menyalakan api), Amati Karya (tidak bekerja), Amati Lelanguan (tidak melaksanakan hiburan), Amati Lelungan (tidak bepergian). Sama halnya saat Nyepi pada umumnya, warga pantang keluar rumah dan menerima tamu.. Dijelaskan, Nyepi Adat ini dilaksanakan setiap satu  tahun sekali. Tapi harinya tidak pasti. Hal itu karena menyesuaikan dengan eedan karya atau odalan yang ada di Pura Dalem Pingit. Biasanya, kenanya bisa sasih kesanga atau bisa juga sasih kedasa. 
Disampaikan, perayaan Nyepi Adat di Desa Pakraman Palaktiying dikatagorikan menjadi dua tingkatan. Nyepi Ageng  dan Nyepi Alit, sesuai tingkat upacara ngusaba yang dilaksanakan. Biasanya kalau pada Ngusaba  Tegen-tegenan  menggunakan pecaruan dengan sarana  sapi, maka brata penyepian biasanya dilaksanakan selama dua  hari. Bila Ngusaba tegenan melantaran ayam, maka brata penyepian  dilaksanakan hanya satu hari.  
Saat pelaksanaan Brata Penyepian,  seluruh  warga Desa Pakraman Palaktiying tidak boleh menerima tamu dari luar desa maupun luar dusun. Jika hal tersebut dilanggar, maka warga yang kedatangan tamu akan dikenai sanksi berupa denda. Menurut sejumlah warga setempat, sanksi adat yang dikenakan bila melanggar Nyepi Adat, kalau dulu dendanya berupa uang kepeng dan sempat dirupiahkan menjadi Rp 2.000 per KK, sekarang dendanya berupa beras satu kilogram. 
3.      Ngusabe Tegen
Sementara itu, sehari sebelum pelaksanaan Nyepi Adat warga dusun Palaktiying melaksanakan ritual Ngusabha Tegen. Sesuai namanya, Ngusabha Tegen di Palaktiing menggunakan sarana sesajen berupa banten tegen-teganan. Dimana, keunikan banten tegenan ini terdiri dari dua bagian. Satu bagian dibuat dari sarana buah-buahan dan jajan. Dibagian lain terbuat dari ketupat. Sarana ini dibentuk sedemikian rupa dan dibawa dengan cara dipikul (tegen) dengan menggunakan kayu dapdap oleh kaum pria. 
Sementara kaum perempuan membawa banten suunan yang juga dibuat dari hasil bumi. Semua sarana tersebut kemudian dihaturkan ke Pura Dalem Pingit dusun Palaktiying. Dikatakan juga banten tegenan ini, wajib dihaturkan satu kepala keluarga satu tegenan. Tujuan Ngusabha Tegen, yakni sebagai ungkapan rasa syukur atas panen yang berlimpah. Belum diketahui pasti sejak kapan Upacara Tegen-tegenan dan Nyepi adat itu dilaksanakan. Yang pasti, upacara Tegen-Tegenan dan Nyepi Adat sudah dilakukan dari nenek moyang mereka dan diyakini harus dilaksanakan untuk menghindari hal - hal yang tidak diinginkan.

Itulah beberapa tradisi uni yang terdapat di Desa Landih, selainn tradisi itu diatas patinya masih banyak yang belum saya ketahui, bila ada kesalahan dalam penulisan saya mohon maaf sebesar – besarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar