Kamis, 27 Oktober 2016

Wiwaha ( Perkawinan ) Menurut Hindu

Pengertian Wiwaha, Tujuan Wiwaha Menurut Hindu, Sistem Pawiwahan Serta Jenis Banten Yang Digunakan Menurut Agama Hindu, Syarat Agar Pawiwahan Sah Menurut Hindu.


Pengertian Wiwaha
Dalam agama Hindu di Bali istilah perkawinan biasa disebut Pawiwahan. Pengertian Pawiwahan itu sendiri dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan, perkawinan.
Pengertian pawiwahan secara sistematik dapat dipandang dari sudut yang berbeda-beda sesuai dengan pedoman yang digunakan. Pengertian pawiwahan tersebut antara lain: menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.


Pernikahan atau wiwaha dalam Agama Hindu adalah yadnya dan perbuatan dharma. Wiwaha (pernikahan) merupakan momentum awal dari Grahasta Ashram yaitu tahapan kehidupan berumah tangga. dalam adat Hindu di Bali merupakan upaya untuk mewujudkan hidup Grhasta Asmara, tugas pokoknya menurut lontar Agastya Parwa adalah mewujudkan suatu kehidupan yang disebut „Yatha sakti Kayika Dharma“ yang artinya dengan kemampuan sendiri melaksanakan Dharma. Jadi seorang Grhasta harus benar-benar mampu mandiri mewujudkan Dharma secara profesional haruslah dipersiapkan oleh seorang Hindu yang ingin menempuh jenjang perkawinan.
Wiwaha adalah ikatan suci dan komitment seumur hidup menjadi suami-istri dan merupakan ikatan sosial yang paling kuat antara laki laki dan wanita. Wiwaha juga merupakan sebuah cara untuk meningkatkan perkembangan spiritual. Lelaki dan wanita adalah belahan jiwa, yang melalui ikatan pernikahan dipersatukan kembali agar menjadi manusia yang seutuhnya karena di antara keduanya dapat saling mengisi dan melengkapi. Wiwaha harus berdasarkan pada rasa saling percaya, saling mencintai, saling memberi dan menerima, dan saling berbagi tanggung jawab secara sama rata, saling bersumpah untuk selalu setia dan tidak akan berpisah.
Pawiwahan atau Pernikahan adat menurut orang bali pada hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai suami-istri. Sarana Pawiwahan berupa Segehan cacahan warna lima, Api takep (api yang dibuat dari serabut kelapa), Tetabuhan (air tawar, tuak, arak), Padengan-dengan/pekata-kalaan, Pejati, Tikar dadakan (tikar kecil yang dibuat dari pandan), Pikulan (terdiri dari cangkul, tebu, cabang kayu dadap yang ujungnya berisi periuk, bakul yang berisi uang), Bakul, Pepegatan terdiri dari dua buah cabang dadap yang dihubungkan dengan benang putih.
Rangkaian upacara pawiwahan merupakan pengesahan karena sudah melibatkan tiga kesaksian yaitu: Bhuta saksi (upacara mabeakala), Dewa saksi (upacara natab banten pawiwahan, mapiuning di Sanggah pamerajan), dan Manusa saksi (dengan hadirnya prajuru adat, birokrat, dan sanak keluarga/ undangan lainnya). Manusa saksi diwujudkan secara hukum dalam bentuk Akta Perkawinan,Sesuai dengan Undang-Undang No. 1/1974 pasal 2, Akta Perkawinan itu dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil. Di Daerah Kabupaten yang kecil, pejabat catatan sipil kadang-kadang dirangkap oleh Bupati atau didelegasikan kepada Kepala Kecamatan. Jadi tugas catatan sipil disini bukanlah “mengawinkan” tetapi mencatatkan perkawinan itu agar mempunyai kekuatan hukum.

Tujuan Pawiwahan

Wiwaha dalam agama Hindu dipandang sebagai suatu yang amat mulia. Dalam Manawa Dharmasastra dijelaskna bahwa wiwaha itu bersifat sakral yang hukumnya wajib, dalam artian harus dilakukan oleh seseorang yang normal sebagai suatu kewajiban hidupnya. Penderitaan atau penebusan dosa para leluhur akan dapat dilakukan oleh keturunannya. Tujuan utama dapat pertama dalam wiwaha adalah untuk memperoleh keturunan yang suputra yakni anak yang hormat kepada orang tuanya, cinta kasih terhadap sesama dan berbhakti kepada tuhan. dalam Nitisastra dijelaskan bahwa “ orang yang mampu membuat seratus sumur masih kalah keutamaannya dengan orang yang mampu membuat satu waduk, orang yang mampu membuat seratus waduk kalah keutamaannya dengan membuat satu yadnya yang tulus iklas dan masih kala dengan orang yang mampu melahirkan seorang anak suputra. Demikian keutamaan anak suputra”.
Dalam kehidupan berumah tangga adapun kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu :
1)      Melanjutkan keturunan
2)      Membina rumah tangga
3)      Bermasyarakat
4)      Melaksanakan panca yadnya
Ø Tujuan pawiwahan berdasarkan undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang dijelaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal maka dalam agama Hindu sebagaimana diutarakan dalam kitab suci Veda perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia.
Ø Menurut I Made Titib dalam makalah “Menumbuhkembangkan pendidikan agama pada keluarga” disebutkan bahwa tujuan perkawinan menurut agama Hindu adalah mewujudkan 3 hal yaitu:
1.     Dharmasampati yang berarti bahwa pernikahan merupakan salah satu dharma yang harus dilaksanakan sebagai umat Hindu sesuai dengan ajaran Catur Ashrama, sehingga pasangan suami istri melaksanakan: Dharmasastra, Artasastra, dan Kamasastra. Jika dikaitkan dengan Catur Purusaarta, maka pada masa Grhasta manusia Hindu telah melaksanakan Tripurusa, yaitu Dharma, Artha, dan Kama. Purusa keempat (Moksa) akan sempurna dilaksanakan bila telah melampaui masa Grhasta yaitu Wanaprasta dan Saniyasin. Melalui pernikahan ini juga kedua mempelai diberikan jalan untuk dapat melaksanakan dharma secara utuh seperti dharma seorang suami atau istri, dharma sebagai orang tua, dharma seorang menantu, dharma sebagai ipar, dharma sebagai anggota masyarakat sosial, dharma sebagai umat, dll.
2.     Praja yang berarti bahwa pernikahan bertujuan untuk melahirkan keturunan yang akan meneruskan roda kehidupan di dunia. Tanpa keturunan, maka roda kehidupan manusia akan punah dan berhenti berputar. sehingga Pernikahan / pawiwahan sangat dimuliakan karena bisa memberi peluang kepada anak/ keturunan untuk melebur dosa-dosa leluhurnya agar bisa menjelma kembali sebagai manusia. Dari perkawinan diharapkan lahir anak keturunan yang dikemudian hari bertugas melakukan Sraddha Pitra Yadnya bagi kedua orang tuanya sehingga arwah mereka dapat mencapai Nirwana. Sebagai orang tua, suami-istri diwajibkan memberikan bimbingan dharma kepada semua keturunan agar mereka kelak dapat meneruskan kehidupan yang harmonis, damai, dan sejahtera. Anak keturunan merupakan kelanjutan dari kehidupan atau eksistensi keluarga. Anak dalam Bahasa Kawi disebut “Putra” asal kata dari “Put” (berarti neraka) dan “Ra” (berarti menyelamatkan). Jadi Putra artinya: “yang menyelamatkan dari neraka”. Suatu kekeliruan istilah di masyarakat dewasa ini, bahwa anak laki-laki dinamakan putra dan anak perempuan dinamakan putri; melihat arti putra seperti di atas, maka putri tidak mempunyai makna apa-apa karena “ri” tidak ada dalam kamus Bahasa Kawi. Pandita berpendapat lebih baik anak perempuan dinamakan Putra Istri, bukannya putri.
3.     Rati yang berarti pernikahan adalah jalan yang sah bagi pasangan mempelai untuk menikmati kehidupan seksual dan kenikmatan duniawi lainnya. Merasakan nikmat duniawi secara sah diyakini akan dapat memberikan ketenangan batin yang pada akhirnya membawa jiwa berevolusi menuju spiritualitas yang meningkat dari waktu kewaktu. Kedua mempelai diharapkan dapat membangun keluarga yang sukinah (selalu harmonis dan berbahagia), laksmi (sejahtera lahir batin), siddhi (teguh, tangguh, tegar, dan kuat menghadapi segala masalah yang menerpa), dan dirgahayu (pernikahan berumur panjang dan tidak akan tercerai berai). Hal ini sesuai dengan mantra yang seringkali kita lantunkan dalam puja bhakti sehari hari: “Om Sarwa Sukinah Bhawantu. Om Laksmi, Sidhis ca Dirgahayuh astu tad astu swaha”.

          Perkawinan pada hakikatnya adalah suatu yadnya guna memberikan kesempatan kepada leluhur untuk menjelma kembali dalam rangka memperbaiki karmanya. Dalam kitab suci Sarasamuscaya sloka 2 disebutkan :

Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wang juga wenang gumaweakenikang subha asubha karma, kunang panentasakena ring subha karma juga ikang asubha karma pahalaning dadi wang

artinya:
“Dari demikian banyaknya semua mahluk yang hidup, yang dilahirkan sebagai manusia itu saja yang dapat berbuat baik atau buruk. Adapun untuk peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang baik, itu adalah manfaat jadi manusia.”

          Berkait dengan sloka tersebut, karma hanya dengan menjelma sebagai manusia, karma dapat diperbaiki menuju subha karma secara sempurna. Melahirkan anak melalui perkawinan dan memeliharanya dengan penuh kasih sayang sesungguhnya suatu yadnya kepada leluhur. Lebih-lebih lagi kalau anak itu dapat dipelihara dan dididik menjadi manusia suputra, akan merupakan suatu perbuatan melebihi seratus yadnya, demikian disebutkan dalam Slokantara.
Keluarga yang berbahagia kekal abadi dapat dicapai bilamana di dalam rumah tangga terjadi keharmonisan serta keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri, masing-masing dengan swadharma mereka. Keduanya (suami-istri) haruslah saling isi mengisi, bahu membahu membina rumah tangganya serta mempertahankan keutuhan cintanya dengan berbagai “seni” berumah tangga, antara lain saling menyayangi, saling tenggang rasa, dan saling memperhatikan kehendak masing-masing. Mempersatukan dua pribadi yang berbeda tidaklah gampang, namun jika didasari oleh cinta kasih yang tulus, itu akan mudah dapat dilaksanakan.
Tujuan pokok perkawinan adalah terwujudnya keluarga yang berbahagia lahir bathin. Kebahagiaan ini ditunjang oleh unsur-unsur material dan non material.
Unsur material adalah tercukupinya kebutuhan sandang, pangan, dan papan/ perumahan (yang semuanya disebut Artha). Unsur non material adalah rasa kedekatan dengan Hyang Widhi (yang disebut Dharma), kepuasan sex, kasih sayang antara suami-istri-anak, adanya keturunan, keamanan rumah tangga, harga diri keluarga, dan eksistensi sosial di masyarakat (yang semuanya disebut Kama).

Sistem pawiwahan serta jenis banten yang digunakan menurut Agama Hindu


Perenungan :
“ Brahma Dai vastat hai varsyah,
Prapaja yastatha surah,
Gandharwa raksasa caiva,
Paisacasca astamo dharmah”
Terjemahan :
“ Adapun system perkawinan itu ialah Brahma wiwaha, Daiwa wiwaha, Rsi wiwaha, Prajapati wiwaha, Asura wiwaha, Gandharwa wiwaha, Raksasa wiwaha, dan Paisaca wiwaha”.
( Manawa Dharmasastra.III.21)

Sistem pawiwahan adalah cara yang dibenarkan untuk dilakukan oleh seseorang menurut hukum Hindu dalam melaksanakan tata cara perkawinan, sehingga dapat dinyatakan sah sebagai suami istri. Menurut Dharmasastra ada delapan sistem perkawinan yakni :
1)    Brahma wiwaha, adalah pemberian anak wanita kepada seorang pria yang ahli weda dan berperilaku baik setelah menghormati yang diundang sendiri oleh ayah wanita (Manawa Dharmasastra III.27)
Sloka :
“Acchadya carcayitwa ca cruti cila wate swayam, ahuya danam kanyaya brahma dharmah prakirtitah”

“ Pemberian seorang gadis setelah terlebih dahulu dirias (dengan pakaian yang mahal) dan setelah menghormati (dengan menghadiahi permata) kepada seorang yang aktif dalam weda lagi pula budi bahasanya yang baik yang diundang (oleh ayah si wanita) disebut Brahma Wiwaha”

2)    Daiwa wiwaha, adalah pemeberian anak wanita kepada pendeta yang melaksanakan upacara atau yang telah berjasa (Manawa Dharmasastra III.28)
Sloka :
“Yajne tu witate samyag rtwije karma kurwate, alamkrtya sutadanam daiwam dharmam pracaksate”

“Pemberian seorang wanita yang setalah terlebih dahulu dihias dengan perhiasan-perhiasan kepada seorang pendeta yang melaksanakan upacara pada saat upacara itu berlangsung disebut Daiwa wiwaha”

3)    Arsa wiwaha, adalah perkawinan yang dilakukan setelah wanita mengikuti aturan yakni menerima seekor atau dua pasang lembu dari pihak mempelai laki – laki (Manawa Dharmasastra III.29)
Sloka :
“Ekam gomithunam dwe wa waradadaya dharmatah, kanyapradanam widhi wadarso dharma sa ucyate’

“ Kalau seorang ayah mengawinkan anak perempuannya sesuai dengan peraturan setelah menerima seekor sapi atau seekor atau dua pasang lembu dan pengantin pria untuk memenuhi peraturan dharma, disebut acara Arsa Wiwaha”

4)    Prajapati wiwaha, pemberian seorang anak setelah berpesan dengan mantra kamu berdua melaksanakan kewajibanmu bersama dan setelah menunjukkan penghormatan kepada pengantin pria (Manawa Dharmasastra III.30)
Sloka :
“Sahobhau caratam dharmam iti wacanubhasya ca, kanyapradanam abhyarcya prajapatyo widhih smrtah.”

“Pemberian seorang anak perempuan (oleh ayah si wanita) setelah berpesan kepada mempelai dengan mantra (semoga kamu berdua melaksanakan kewajiban) dan  menunjukkan penghormatan (kepada pengantin pria), perkawinan itu di dalam kitab smreti dinamai perkawinan Prajapati”

5)    Asura wiwaha,  adalah bentuk perkawinan dimana setelah pengantin pria memberikan mas kawin sesuai dengan kemampuan dan didorong oleh keinginannya sendiri kepada si wanita dan ayahnya menerima wanita itu untuk dimiliki (Manawa Dharmasastra III.31)
Sloka :
“Jnatibhyo drawinam dattwa kanyayai caiwa caktitah, kanyapradanam sacchandyad asuro dharma ucyate”

“ Kalau pengantin Pria menerima seorang perempuan setelah pria itu member mas kawin sesuai dengan kemampuannya dan didorong oleh keinginannya sendiri kepada mempelai wanita dan keluarganya cara itu dinamakan perkawinan Asura.”

6)    Gandharwa wiwaha, adalah bentuk perkawinan suka sama suka antara kedua mempelai (Manawa Dharmasastra III.32)
Sloka :
“Icchayanyonya samyogah kanyanya warasya ca, gandharwah satu wijneyo maithunyah kamasam bhawah”

“Pertemuan suka sama suka antara perempuan dengan kekasihnya yang timbul dari nafsunya dan bertujuan melakukan perhubungan kelamin dinamakan acara perkawinan Gandharwa’

7)    Raksasa wiwaha, bentuk perkawinan dengan cara menculik wanita dengan kekerasan (Manawa Dharmasastra III.33)
Sloka :
Hatwa chitwa ca bhittwa ca krocatim rudatim grihat, prasahya kanya haranam raksaso widhi rucyate”

“Melarikan seorang gadis denga paksa dari rumahnya dimana wanita berteriak-teriak menangis setelah keluarganya terbunuh atau terluka, rumahnya dirusak, dinamakan perkawina Raksasa”

8)    Paisaca wiwaha, adalah bentuk perkawinan dengan cara mencuri, memaksa dan membuat bingung atau mabuk (Manawa Dharmasastra III.34)
Sloka :
“Sutpam mattam pramattam waraho yatropagacchati, sa papistho wiwahanam paicaca ccastamo dhamah.”

“Kalau seorang laki-laki dengan secara mencuri-curi dan memperkosa seorang wanita yang sedang tidur, sedang mabuk atau bingung, cara demikian adalah perkawinan Paisaca yang amat rendah dan penuh dosa”
bentuk perkawinan diatas ada dua sistem yang dilarang dalam kehidupan baik oleh hukum agama atau hukum negara yaitu sistem perkawinan Raksasa dan Paisaca wiwaha. Menurut tradisi adat di Bali adapun sistem yaitu :
1.      Sistem mapadik atau meminang,  pihak calon serta keluarga memepelai laki – laki datang ke rumah calon mempelai wanita untuk meminang calon istrinya. Biasanya kedua calon mempelai sebelumnya telasa saling mengena da ada kesepakatan untuk hidup berumah tangga. Inilah sistem yang dianggap paling terhormat
2.      Sistem ngerorod atau rangkat, bentuk perkawinan atas dasar suka sama suka dengan pasangan dan cukup usia akan tetapi tidak mendapat restu salah satu orang tua dari mempelai. Sistem ini dikenal dengan sistem kawin lari
3.      Sistem nyentana atau nyeburin, perkawinan atas dasar perubahan status hukum dimana calon mempelai wanita secara adat berstatus sebagai purusa dan pria berstatus sebagai pradana. Dalam hubungan ini mempelai laki – laki tinggal di rumah mempelai wanita
4.      Sistem melegandang, bentuk perkawinan dengan cara paksa yang tidak didasari atas cinta.
Selain itu dalam ketentuan pasal 57 dari Undang – undang Perkawinan diatur tentang perkawinan campurang antara mereka yang berbeda warga negara dan agama. Menurut Ordenansi perkawinan campuran maka hukum agama si suami yang harus diik uti.
Berhubungan dengan hal itu agar perkawinan dapat berlangsung dengan baik dan dipandang sah menurut Agama Hindu maka rohaniwan yang muput upcara wiwaha tersebut kepada pihak wanita diawali dengan upacara sudhawadani sebagai upacara pernyataan bahwa si wanita rela dan sanggup mengikuti agama pihak suami. Setelah itu, barulah upacara tersebut dilaksanakan.

Syarat Agar Pawiwahan Sah Menurut Hindu


Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974  dan Kitab Suci Manava Dharmasastra maka  syarat tersebut menyangkut keadaan calon pengantin dan administrasi, sebagai berikut:
•        Dalam pasal 6 disebutkan perkawinan harus ada  persetujuan dari kedua calon mempelai.dan mendapatkan izin kedua orang tua.  Persetujuan tersebut itu harus secara murni dan bukan paksaan dari calon pengantin serta jika salah satu dari kedua orang tua telah meninggal maka yang memberi izin adalah keluarga, wali yang masih ada hubungan darah. Dalam ajaran agama Hindu syarat tersebut juga merupakan salah satu yang harus dipenuhi, hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.35 yang berbunyi:
“Adbhirewa dwijagryanam kanyadanam wicisyate,
Itaresam tu warnanam itaretarkamyaya”
“Pemberian anak perempuan di antara golongan Brahmana, jika didahului dengan percikan air suci sangatlah disetujui, tetapi antara warna-warna lainnya cukup dilakukan dengan pernyataan persetujuan bersama” (Pudja dan Sudharta, 2002: 141).
•        Menurut pasal 7 ayat 1, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 ( sembilan belas ) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan tersebut tidaklah mutlak karena jika belum mencapai umur.
minimal tersebut untuk melangsungkan perkawinan maka diperlukan persetujuan dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita, sepanjang hukum yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Agama Hindu memberikan aturan tambahan mengenai hal tersebut dimana dalam Manava Dharmasastra IX.89-90 yang menyatakan bahwa walaupun seorang gadis telah mencapai usia layak untuk kawin, akan lebih baik tinggal bersama orang tuanya hingga akhir hayatnya, bila ia tidak memperoleh calon suami yang memiliki sifat yang baik atau orang tua harus menuggu 3 tahun setelah putrinya mencapai umur yang layak untuk kawin, baru dapat dinikahkan  dan orang tua harus memilihkan calon suami yang sederajat untuknya. Dari sloka tersebut disimpulkan umur yang layak adalah 18 tahun, sehingga orang tua baru dapat mengawinkan anaknya setelah berumur 21 tahun (Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001: 34).
•        Sebagaimana diatur dalam pasal 8-11 Undang- Undang No. 1 tahun 1974, dalam Hukum Hindu perkawinan yang dilarang dan harus dihindari dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.5-11 adalah jika ada hubungan sapinda dari garis Ibu dan Bapak, keluarga yang tidak menghiraukan upacara suci, tidak mempunyai keturunan laki-laki, tidak mempelajari Veda, keluarga yang anggota badannya berbulu lebat, keluarga yang memiliki penyakit wasir, penyakit jiwa, penyakit maag dan wanita yang tidak memiliki etika.
•        Selain itu persayaratan administrasi untuk catatan sipil yang perlu disiapkan oleh calon pengantin, antara lain: surat sudhiwadani, surat keterangan untuk nikah, surat keterangan asal usul, surat keterangan tentang orang tua, akta kelahiran, surat keterangan kelakuan baik, surat keterangan dokter, pas foto bersama 4x 6, surat keterangan domisili, surat keterangan belum pernah kawin, foto copy KTP, foto copy Kartu Keluarga dan surat ijin orang tua.
Samskara atau sakramen dalam agama Hindu dianggap sebagai alat permulaan sahnya suatu perkawinan. Hal tersebut dilandasi oleh sloka dalam Manava Dharma sastra  II. 26 sebagai berikut:
“Waidikaih karmabhih punyair nisekadirdwijanmanam,
Karyah carira samskarah pawanah pretya ceha ca”
“Sesuai dengan ketentuan-ketentuan pustaka Veda, upacara-upacara suci hendaknya dilaksanakan pada saat terjadi pembuahan dalam rahim Ibu serta upacara-upacara kemanusiaan lainnya bagi golongan Triwangsa yang dapat mensucikan dari segala dosa dan hidup ini maupun setelah meninggal dunia” (Pudja dan Sudharta, 2002:69).
Dalam pelaksanaan upacara perkawinan ( samskara ) tersebut, agama Hindu tidak mengabaikan adat yang telah terpadu dalam masyarakat karena dalam agama Hindu selain Veda sruti dan smrti, umat Hindu dapat berpedoman pada Hukum Hindu yang berdasarkan kebiasaan yang telah turun temurun disuatu tempat yang biasa disebut Acara. Dengan melakukan upacara dengan dilandasi oleh ajaran oleh pustaka Veda dan mengikuti tata cara adat, maka akan didapatkan kebahagiaan di dunia (Jagadhita ) dan Moksa. Hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharma sastra II. 9 sebagai berikut:
“Sruti smrtyudita dharma manutisthanhi manavah,
iha kirtimawapnoti pretya canuttamam sukham”
“Karena orang yang mengikuti hukum yang diajarkan oleh pustaka-pustaka suci dan mengikuti adat istiadat yang keramat, mendapatkan kemashuran di dunia ini dan setelah meninggal menerima kebahagiaan yang tak terbatas (tak ternilai)”
Suatu pawiwahan dapat dikatakan sah apabila memenuhi syarat yang diselenggarakan dalam ajaran agama hindu, adapun ajarannya adalah sebagai berikut :
1) Pawiwahan dikatakan sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum hindu
2) Untuk mengesahkan pawiwahan menurut hukum hindu harus dilakukan oleh pendeta atau pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melaksanakan upacara ini
3) Suatu pawiwahan dikatakan sah apabila kedua mempelai menganut kepercayaan yang sama
4)  Berdasarkan tradisi yang berlaku di Bali, pawiwahan dikatakan sah apabila telah melaksanakan upacara byakala atau biokaonan sebagai rangkaian upacara wiwaha
5) Calon mempelai tidak terikat oleh suatu ikatan pernikahan
6) Tidak ada kelainan seperti banci, kuming (tidak pernah haid), sakit jiwa atau sehat secara jasmani dan rohani
7) Calon mempelai cukup umur, pria berumur 21 tahun dan wanita minimal 18 tahun
8) Calon mempelai tidak mempunyai hubungan darah atau sepinda.

Selain itu juga agar pawiwahan dianggap sah maka harus dibuatkan akta pernikahan sesuai dengan undang – undang yang berlaku. Orang yang berwenang melaksanakan upacara pawiwahan adalah pendeta yang memiliki status Loka Pala Sraya. Demikian juga cara pengajuan pembatalan pawiwahan menurut pasal 23 bab IV undang – undang no 1 tahun1974 sebagai berikut :
1.      Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau istri
2.      Suami atau istri
3.      Pejabat yang berwenang selama perkawinan belum diputuskan
4.      Pejabat yang ditunjuk dalam ayat 1 pasal 16 undang – undang no 1 tahun 1974 dan setiap orang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.

Perenungan :
“ Prajavanto anamiva anagasah “
Terjemahan :
“Ya, Sang Hyang Surya, semoga kami memiliki anak-cucu dan bebaskan dari penyakit dan dosa “.
(Rg Veda X. 37. 7).\

 Pawiwahan Yang Dilarang

Pawiwahan dapat dicegah atau dilarang apabila calon mempelai tidak memenuhi persyaratan untuk melangsungkan pernikahan. Pencegahan akan dilakukan secara hukum dan agama. Pencegahan dilakukan oleh pendeta atau Brahmana dengan menolak untuk mengesahkannya karena dipandang tidak layak secara hukum agama. Selain itu pencegahan dapat dilakukan apabila ada indikasi penipuan dan kekerasan. Misalnya,  mengambil sistem raksasa wiwaha, paisaca wiwaha atau melegadang, sakit jiwa. Dalam peristiwa yang disengaja dalam perkawinan maka pelaku dapat dikenakan sanksi.
Menurut dharmasastra pencegahan dilakukan apabila ada indikasi perkawinan sapinda.menurut undang – undang no 1 tahun 1974 suatu perkawinan dapat dibatalkan sesuai dengan ketentuan pasal 24 dan pasal 27 yang isinya sebagai berikut :
1)     Bertentangan dengan hukum agama
2)     Calon masih terikat dengan perkawinan atau tidak single
3)     Bila clon suami atau istri mempunyai cacat yang disembunyikan, sehingga salah satu pihak merasa ditipu.
4)     Perkawinan yang masih ada hubungan darah.
5)     Apabila si istri tidak menganut agama yang sama dengan suami menurut hukum Hindu.


Sekian dan terimakasih, Mohon saran dan comentnya ,

1 komentar: